Kamis, 21 Agustus 2014

Sang Pengagum

Iya bu, terima kasih,” Ucapku seraya menerima uang kembalian dari ibu kantin. Aku segera menuju meja yang sudah kami pilih, ku tunggu Bella yang masih memesan makanannya. Seketika aku teringat kembali akan senyum manis Eki ketika berpapasan denganku tadi. Pesonanya membuatku semringah, dialah salah satu alasanku untuk semangat bersekolah tiap harinya. Sesekali hatiku melirih, “Seandainya kau dapat membaca bahasa dalam setiap tatapan mataku, Ki, aku sangat menyayangimu.”
“Hei..” Bella menyadarkan aku dari pandangan kosongku. “Lama banget Bel, aku sudah lapar nih..” Keluhku,
“Iya maaf, tadi antri panjang karena Chindy mentraktir teman sekelasnya,” Ucap Bella cuek dengan menyeruput jus melon pesanannya.
“Chindy ulang tahun? Ada Eki juga?” Ku normalkan intonasi dan ekspresiku, aku tak ingin membuat Bella curiga. Ya, aku memang menyembunyikan perasaan ini pada Bella sejak setahun lalu.
“Pasti, Eki tak mungkin melewatkan perayaan ulang tahun pacar kesayangannya”
“ooh..”
Aku terdiam, kepalaku tertunduk, aku merasakan asap tiba-tiba muncul di lingkup kepalaku, menyesakkan dadaku dan membuat mataku perih, air mataku berlinang, hingga akhirnya jatuh, cucuran air mata itu segera ku usap, ku tak ingin Bella tahu kalau ini karena Eki. Aku bakal ditertawainya habis-habisan jika dia tahu kalau aku jatuh cinta kepada Eki. Ya, karena Eki adalah seorang jawara sekolah, dia tampan, tinggi, pintar, dan terkenal. Tak ada satu pun wanita cantik yang pernah menolaknya. Sedangkan aku? Hanya gadis biasa yang tak banyak dikenal orang. Eki bahkan tak mengenaliku, Memang, aku hanya pantas menjadi pengagum rahasianya.
Aku masih fokus menatap suatu kelas dari jendela yang sudah ku singkap hordennya. Padahal, Ibu Dwi sedang menjelaskan fungsi trigonometri di depan kelas. Sesekali, ku lirik kelas XII IPA 3 itu, berharap seseorang muncul dari dalamnya dan duduk di teras depan, agar aku dapat melihatnya walau secara diam-diam. Dan ternyata Tuhan menjawab doaku, Eki keluar sambil menenteng buku dan duduk tepat dimana aku dapat melihatnya dengan sangat jelas. Namun tak lama dari itu, seorang gadis mengikutinya dari belakang dan duduk disamping Eki. Gadis itu Chindy. Mereka saling melempar canda, tertawa, dan sesekali Eki mengusap kepala Chindy yang bersandar di pundaknya. Kehangatan dalam kebahagiaan terpancar begitu jelas dari sorot mata mereka.
Aku kecewa, tapi apa dayaku? Bukankah itu hak Eki untuk mencintai Chindy? Toh aku bukan seseorang yang berharga untuknya, ku tak pantas melarangnya kan?
Ku hela nafas panjang dan kembali mengikuti pelajaran Bu Dwi sambil sesekali mencuri pandang ke arah Eki.
Bel pulang sekolah telah dibunyikan oleh Pak Tito, guru piket hari itu. Namun entah mengapa aku tak ingin segera pulang, akhirnya ku putuskan pulang agak sore untuk menggunakan fasilitas wi-fi di sekolah, aku ingin menghidupkan kembali pikiranku. Ku buka permainan online dan facebook, sembari bermain game, sesekali aku pun membuka facebook Eki, aku memang selalu update segala hal tentangnya. Ya begitulah pengagum rahasia.
Karena terlalu asyik, aku lupa bahwa jam di belakang kelas telah menunjukkan pukul setengah empat sore. Sekolah sudah sepi, hanya ada siswa yang mengikuti ekstrakurikuler sedang latihan di kelas-kelas. Laptop segera ku matikan, ku tutup dan kumasukkan dalam ransel ungu pemberian Ibu.
Ku langkahkan kakiku ke luar kelas, ku tutup pintu hingga rapat, ku balikkan badanku untuk melanjutkan perjalanan, namun langkah kakiku terhenti oleh pandanganku yang menangkap dua orang sejoli sedang berjalan keluar dari kelasnya dengan penuh canda dan romantisme. Mataku membeku melihatnya, tak berkedip sekalipun. Ku usap tetesan air mata yang tiada kusadari terus mengalir di pipiku sambil melangkah pulang di belakang pasangan yang tak henti-hentinya tertawa mesra.
Seketika batinku sesak melirih “apa yang harus aku lakukan agar kau menyadari bahwa ada seseorang yang sangat mencintaimu di sini? Haruskah ku renggut hatiku dan kuletakkan di rongga dadamu, agar kau tahu betapa sakitnya aku bertahan menjadi seorang pengagum rahasia?”
“Bell, ke kantin yuk..” Ajakku pada Bella yang sedang asyik memainkan komputer tabletnya di pojok kelas
“Kamu duluan saja, aku belum lapar” Tolaknya. Ku kerutkan keningku, melirik tajam padanya, “Ya sudah, aku ke kantin sendirian saja kalau begitu” Ku cubit perut buncitnya dengan kesal, dan segera berlalu darinya.
“Bu, bakso satu porsi tanpa penyedap rasa dan bihun ya” Pesanku pada Bu Tuti
“Baik, nak.”
Tak lama kemudian, satu lembar uang sepuluh ribu di tanganku sudah berganti menjadi satu porsi bakso panas nan menggugah selera. aku segera menuju meja ujung kantin yang sepi. Ku taruh baksoku dan meninggalkannya sejenak untuk memesan minuman di kios Bu Umi. Setelah kuterima jus tomat pesananku, aku kembali ke meja tempatku menaruh santap siang. Namun, aku terkejut ketika melihat tak ada satu pun makanan di atasnya. Ini cukup membingungkan, karena Ibu Tuti tak mungkin menyingkirkan begitu saja makanan yang masih utuh.
“Hei..” Seseorang memukul pundakku, aku tersentak dan segera menoleh ke arahnya, ternyata Dika, teman sekelas Eki,
“Kamu mencari baksomu? Dia ada disana” Ucapnya sambil menunjuk ke meja tengah, meja dimana Eki dan Chindy sedang makan siang bersama. Ya Tuhan, bencana macam apa ini.
“Mengapa bisa ada di sana?” Tanyaku heran
“Dia tak mau sendirian disitu, dia butuh teman.” Tiba-tiba Dika meraih tanganku dan menuntunku ke meja tempat Eki dan Chindy makan berdua, kucoba melepaskan genggamannya dari tanganku, namun semakin ku lepas tangannya, semakin erat cengkramannya di tanganku. Dengan loyo, aku duduk di samping Dika, di depan Eki. Aku menunduk, memejamkan mata, dan ku atur helaan napasku, mencoba menenangkan diri yang sedari tadi gemetar dan jantung yang berdegup begitu hebatnya, mulutku rapat, nafsu makanku hilang, aku terdiam tak bergerak sedikitpun, seperti patung, mati kutu. Maklum saja, aku memang tak pernah dekat dengan teman-teman Eki.
“Santai saja Gia, anggap kita teman akrab, jangan kikuk” Ucap Dika disusul senyum simpul di sudut bibir Eki. Aku mengangguk dan tersenyum malu, ucapan Dika cukup membuatku lega, kupegang sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiriku, ku suapkan satu sendok bakso ke mulut mungilku, aku mulai menikmati makan siang ini, kami mengobrol dengan asyik hingga lonceng masuk kelas berdering. Ketika aku hendak beranjak dari kursi makan, tiba-tiba Dika menarik tanganku untuk kembali duduk,
“Nanti temui aku di tempat parkir sepulang sekolah” Bisiknya,
“Ada apa? Kok tum…”
“Sudah datang saja” Ucapnya memotong kalimatku yang belum usai.
Aku pun melepas genggamannya dan beranjak ke kelas.
Pikiranku masih terbayang oleh perkataan Dika tadi. Kami tak pernah dekat sebelumnya, tetapi tiba-tiba dia mengajakku bertemu, mmm… apakah itu strategi Dika untuk mendekatkan aku dengan Eki? Tetapi bukannya Dika tak tahu jika aku suka pada Eki? Ah entahlah, aku bingung.
“Bell, Dika memintaku untuk menemuinya di tempat parkir sepulang sekolah nanti, bagaimana ini?” Tulisku pada secarik kertas yang kemudian kuberikan pada teman sebangkuku, Bella.
“HAH?” Teriak Bella di tengah pelajaran Ibu Kimia yang super galak, dengan cekatan aku segera menyingkap mulutnya dengan tanganku agar tak terjadi keributan di kelas
“Ada apa Bella dan Gia?!” Bentak Bu Ketrin
“Emm.. mm.. ti.. tidak ada apa-apa, Bu, mmm… Bella hanya ingin bersin, Bu” Dengan gagu aku berbohong kepada Ibu Ketrin. aku segera melepaskan tanganku dari mulut Bella, ku lirikkan mataku ke kertas yang telah ku berikan padanya. Bella langsung mengambil pena dan menarik kertas itu. Menulis balasan beberapa saat dan kemudian memberikannya kembali padaku,
“Yang benar saja kau?!”
“Tentu, mana mungkin aku berbohong padamu”
“Ya sudah, temui saja dia nanti”
“Tetapi bagaimana dengan rencana kita ke toko buku?”
“Sudahlah, aku kan bisa meminta tolong kepada Riki untuk menemaniku”
“Hah?! Apa kau sudah resmi dengannya?”
“Ya, tadi malam”
Seketika tatapanku tertuju tajam pada mata Bella, bagaimana mungkin dia tak bercerita padaku kalau dia sudah menjalin kasih dengan Riki, anak kelas sebelah. Sungguh keterlaluan!
“Ada apa sih, Dik?” Tanyaku ketika sampai di tempat parkir, Dika sudah menungguku di samping juke-nya
“Yuk naik saja”
“Tapi kita mau kema…?”
Lagi-lagi, tangan Dika segera menyergap tanganku dan memintaku masuk ke mobilnya. Aku terdiam, seperti orang bodoh. Mesin mobil segera dinyalakan oleh Dika, di tengah perjalanan aku selalu bertanya kepadanya kemana kami akan pergi, namun Dika seolah menulikan telinganya, dia tak menjawab pertanyaanku, dan itu cukup membuatku kesal.
Akhirnya kami tiba di suatu tempat yang indah, sangat indah. Aku keluar dari mobil dan langsung menghirup udara sejuk di sekitarnya. Aku belum pernah ke tempat seindah ini sebelumnya. Tiba-tiba Dika datang dari sebelah kananku dan menghadapkan badanku tepat di depannya, di keluarkannya setangkai mawar putih dari saku belakangnya, keningku berkerut, mataku meruncing, pandanganku fokus pada kedua mata Dika. Perlahan tangan Dika meraih dan menggenggam lembut kedua tanganku,
“Gia, mungkin kamu bingung akan semua ini, tapi inilah yang aku rasakan. Aku menyayangimu”
mulutku menganga tak percaya, “Mana mungkin?” Tanyaku
“Ya, aku sudah lama menjadi seorang pengagum rahasiamu. Ku selalu memperhatikan setiap gerak gerikmu, bahkan ketika kamu menunduk dan meneteskan air mata saat kau tahu ada Eki di ulang tahun Chindy, atau ketika kau berpura-pura membersihkan jendela kelas untuk menyingkap hordennya agar kau dapat melihat Eki secara diam-diam.. Ketahuilah, aku pun menyingkap horden jendelaku untuk dapat melihatmu saat kau memperhatikan Eki. Bahkan ketika kau menangis di belakang Eki dan Chindy saat pulang sekolah kemarin sore, ketahuilah, Gia, di belakangmu, air mataku pun menitik.
Gia, Aku tak memaksamu, sama sekali, aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasa selama satu tahun ini, aku tak kuasa untuk menahannya. Aku ingin kau tahu bahwa aku telah jatuh hati padamu, dan aku ingin kau menjadi temanku untuk menjalani setiap hariku. Aku mencintaimu…”
Aku tak percaya ini terjadi, air mataku mengalir, genggaman tangan Dika semakin erat, aku tak pernah sadar bahwa selama ini ada orang yang menjadi pengagum rahasiaku disaat aku menjadi pengagum rahasia orang lain,
“Lalu, a.. apa yang harus aku lakukan, Dika?”
Dika melepaskan genggamannya dan bersimpuh di hadapanku dengan setangkai mawar di tangannya
“Maukah kau menjadi kekasihku?” ucapnya penuh harap
Hatiku berkecamuk, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa atas semua ini. Aku tak ingin melukai hati Dika, tetapi perasaanku tak pernah berdusta, aku menyayangi Eki, bukan Dika!
“Tapi, Dik, kamu mengerti kan bagaimana perasaanku kepada Eki?” Ucapku seraya bersimpuh di hadapannya,
“Ya, aku sangat mengerti” Jawabnya dengan intonasi yang melemah dan air muka penuh kekecewaan. Ya Tuhan, maafkan aku, aku benar-benar tak bermaksud membuatnya menjadi seperti ini.
Kuraih tangan kanan Dika dan kutatap matanya penuh tulus “Terima kasih telah mencintaiku, Dika”
Semenjak itu, Dika tak marah ataupun menjauh dariku, Ia malah sering mengajakku dan Bella makan bersama di kantin, bersama Eki dan Chindy pastinya. Hubungan kami, terutama hubungan ku dengan Eki menjadi lebih dekat, kami menjadi sering bermain bersama. Ya, Ini semua karena Dika, terimakasih telah membuatku bahagia.
“Gia, nanti aku akan pulang bersama Riki, kamu pulang sendirian tak apa kan?” Ucap Bella kepadaku saat kami sedang makan di kantin
“Mmm… baiklah” Ucapku
Ternyata Dika mendengar percakapan kami, dan menawarkan aku untuk pulang bersama dia, namun aku menolaknya. Aku tak ingin merepotkan dia, karena sepulang sekolah nanti aku akan ke toko buku terlebih dahulu.
Bel pulang sekolah sudah berdering, Pak Surasa segera menutup kegiatan pembelajaran hari itu, setelah berdoa aku membereskan buku-buku yang berserakan di meja dan beranjak pulang.
Di tengah perjalanan, lagi-lagi Dika menghampiri dan menawarkan aku untuk pulang bersamanya, tetapi lagi-lagi aku pun menolaknya, dan memilih jalan kaki hingga ke halte.
Matahari memang cukup menyengat kala itu, ku keluarkan teh botol dari dalam tas dan mereguknya sekedar untuk meluruhkan dahagaku siang itu. Lima belas menit, tiga puluh menit, satu jam pun berlalu, tetapi tak ada satu pun angkutan umum yang melintas. Aku mulai bosan, terlebih tak ada satu pun orang di halte selain aku. Akhirnya jalan kaki menjadi keputusanku saat itu, panasnya udara membuat langkah kakiku melemas.
Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor mendekatiku dari belakang, pelan-pelan ku menoleh untuk melihat siapakah yang ada di balik helm putih itu, “Seperti Eki” Pikirku. Sepeda motor itu berhenti tepat di sampingku, dan benar, ketika dia melepas helm dari kepalanya, tampak wajah Eki dengan sejuta pesonanya yang berhasil mengalahkan panasnya matahari kala itu.
“Kau mau kemana? Mari pulang bersamaku” Tawarnya,
Ya Tuhan, pria ini berhasil membuat degup jantungku nyaris berhenti, pipiku merah merona. Bagaimana mungkin, seorang Dazeki Juano menawarkan gadis seperti aku untuk pulang bersamanya? Bermimpi pun aku tak berani.
“Mmm.. t..terimakasih, tapi..”
“Tapi kenapa?”
“Tetapi aku ingin ke toko buku terlebih dahulu, kamu pulang saja duluan” Ucapku
“Pas sekali, aku juga akan ke toko buku. Ayo ikut saja denganku, tak akan ada angkutan umum sampai nanti sore, karena para supir sedang mengadakan demo di depan kantor DPR” ucapnya.
Akhirnya, aku menerima tawaran Eki dan segera menaiki ninja-nya. Kami pergi ke toko buku bersama, bersenang-senang, dan akhirnya Eki mengantarkan aku pulang ke rumah, namun sebelumnya kami makan malam terlebih dahulu di kafe favoritku yang ternyata juga kafe favorit Eki. Rencana Tuhan memang sangat istimewa, suatu kejadian yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, dan tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Sesampainya di rumah, Eki pamit kepadaku dan untuk pertama kalinya dia mengucapkan selamat malam kepadaku. Hatiku melayang jauh menembus cakrawala, hari itu aku benar-benar menjadi seorang Putri Dazeki!
Setelah Eki pulang, aku masuk ke rumah, saat aku hendak membuka gerbang, tak sengaja tanganku menyentuh setangkai mawar putih dan secarik kertas bertuliskan “selamat malam, ttd Dika.” Bibirku melengkung manis ketika membacanya. Bunga dan secarik kertas itu memang bukan yang pertama, sejak Dika mengungkapkan perasaannya padaku, sejak itu pula ia selalu menaruh bunga mawar putih di gerbang rumahku, dan aku selalu menyimpannya dengan rapi di meja belajarku.
“Gia!! Apakah kamu sudah tahu berita terbaru hari ini?” tanya Bella menggebu ketika aku masuk kelas
Aku menggelengkan kepalaku, “Ada apa, Bell?”
“Eki dengan Chindy putus!”
“APA??!!” aku benar-benar tak percaya, hubungan mereka telah terjalin lebih dari dua tahun, dan mereka merupakan salah satu pasangan yang terkenal baik-baik saja selama ini, tetapi mengapa ini terjadi?
Aku segera menuju bangkuku, ketika tas hendak kuletakkan, mataku menangkap secarik kertas tepat berada di atas bangku, “Aku tunggu di taman sekolah istirahat nanti,” Begitu isi tulisannya. Aku bingung karena tak disertakan nama di bagian bawahnya. Ku tunjukkan kertas ini kepada Bella, namun dia pun mengangkat kedua bahunya pertanda Ia tidak tahu.
Akhirnya, ketika istirahat aku pergi ke taman sekolah, kutemukan seorang lelaki di bawah air mancur berdiri membelakangiku, ku hampiri dia, dan alangkah terkejutnya aku saat mengetahui bahwa yang menulis surat itu adalah Eki!
“Ada apa kau menyuruhku datang kesini?” Tanyaku sedikit gemetaran
“Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, Gia.”
“Tentang apa?”
“Tentang perasaanku kepadamu” ucapnya. Eki membalikkan badannya dan menatap mataku amat dalam, “aku merasa nyaman saat aku bersamamu, aku menemukan arti kebahagiaan pada dirimu, aku ingin selalu bersamamu menjalin sebuah hubungan yang penuh tawa. Aku jatuh cinta kepadamu, Gia”
Aku terkejut. Sangat terkejut. Ini saat-saat yang aku tunggu sejak satu tahun lalu, dan kini ini nyata. Ya Tuhan…
“Apakah karena ini kamu melepaskan Chindy?”
“Iya, aku baru sadar, kebahagiaanku ada padamu, bukan pada Chindy” Seketika Eki bersimpuh di hadapanku “Aku ingin kau menjadi kekasihku, Gia”
“Tapi kita baru saja kenal, bagaimana bisa kau jatuh cinta secepat itu?” Tanyaku dengan muka penuh ketidakpercayaan.
“Entahlah, yang pasti aku begitu nyaman berada di dekatmu”
Air mataku meleleh satu persatu “Eki, terimakasih, aku memang sangat mencintaimu sejak dua tahun lalu, andai kamu tahu, Ki, aku menunggu saat-saat seperti ini sejak dulu, sejak aku masih menjadi pengagum rahasiamu, namun ketahuilah, Ki, cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang duka yang harus dilalui dan dihadapi bersama, dan terima kasih atas kesetiaan yang telah kau ajarkan padaku selama menjadi pegagum rahasiamu. Kini aku akan menerapkan kesetiaan itu di kehidupanku selanjutnya, tapi bukan bersamamu, melainkan kepada seseorang yang juga setia kepadaku. Maafkan aku, Eki”
“Siapa orang itu Gia?”
“Dika…”
“Dik… Dika? Mengapa dia, Gi?”
“Aku mengerti bagaimana perasaan menjadi seorang pengagum rahasia, dia selalu memperhatikan aku, selalu menungguku, menyayangiku secara diam-diam. Dan aku pun tahu bagaimana rasanya jika cinta itu tak berbalas, sakit, Ki. Aku tak mau jika seseorang yang benar-benar mencintaiku begitu saja ku tinggalkan”
“Tetapi aku juga mencintaimu, Gia”
“Tapi cinta Dika lebih besar, Ki. Dia tetap setia denganku walau dia tahu bahwa aku menyukaimu, dia tetap memberiku perhatian walau tak kutanggapi, dan dia juga tetap tersenyum padaku ketika dia melihat kau memboncengku ke toko buku, padahal sebelumnya aku menolak tawaran Dika untuk diantar olehnya, bahkan ketika aku baru pulang setelah bersamamu, dia masih mengantar mawar putih dan sepucuk surat untukku.. aku tak tahu apa yang akan aku lakukan jika aku menjadi Dika, mungkin aku sudah membuang semua fotomu dan menghapus bayangmu dalam hidupku. Tapi Dika tidak, dia tetap setia, dia tetap yakin bahwa cinta yang sebenarnya tak akan jatuh ke tangan yang salah, dan itu benar. Aku menyadari, Dika lah cintaku, cinta yang sebenarnya, cinta yang penuh dengan ketulusan.. Maafkan aku.”
Cerpen Karangan: Amalia Mar’atun Nadhifah
Facebook: Amalia Nadhifah

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 WonKampung